Organisasi Konferensi Islam (OKI) adalah organisasi internasional yang anggotanya terdiri atas negara-negara Islam seluruh dunia. Organisasi ini didirikan pada tanggal 22 September 1969 saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) negara-negara Islam di Rabat Maroko atas prakarsa Raja Faisal dari Arab Saudi dan Raja Hasan II dari Maroko. Latar belakang didirikannya organisasi dipicu oleh peristiwa pembakaran Mesjid Al Aqsho yang terletak di kota Al Quds (Jerusalem) pada tanggal 21 Agustus 1969. Peristiwa pembakaran tersebut menimbulkan reaksi keras dunia, terutama dari kalangan umat Islam. Saat itu dirasakan adanya kebutuhan yang mendesak untuk mengorganisir dan menggalang kekuatan dunia Islam serta mematangkan sikap dalam rangka mengusahakan pembebasan Al-Quds. Pada awalnya OKI mempunyai 25 anggota dan saat ini jumlahnya bertambah menjadi 57 negara anggota serta sejumlah negara pengamat, antara lain Bosnia Herzegovina, Republik Afrika Tengah, Pantai Gading, dan Thailan.

OKI didirikan berdasarkan pada keyakinan atas agama Islam, penghormatan pada Piagam PBB dan Hak Asasi Manusia (HAM). Pada Konferensi Tingkat Menteri (KTM) III OKI bulan February 1972, telah diadopsi piagam organisasi yang berisi tujuan OKI yaitu; meningkatkan solidaritas Islam serta mengkordinasikan kerja sama politik, ekonomi, dan sosial budaya antarnegara-negara anggota, mendukung upaya perdamaian dan keamanan internasional, serta melindungi tempat-tempat suci Islam dan membantu perjuangan pembentukan negara Palestina yang merdeka dan berdaulat, dan bekerjasama untuk menentang diskriminasi rasial dan segala bentuk penjajahan, menciptakan suasana yang menguntungkan dan saling pengertian di antara negara anggota dan negara-negara lain.

Untuk mencapai tujuan di atas, negara-negara anggota menetapkan 5 prinsip, yaitu; 1) persamaan mutlak antarnegara-negara anggota, 2) menghormati hak menentukan nasib sendiri, tidak campur tangan atas urusan dalam negeri negara lain, 3) menghormati kemerdekaan, kedaulatan dan integritas wilayah setiap negara, 4) penyelesaian sengketa yang mungkin timbul melalui cara-cara damai seperti perundingan, mediasi, rekonsiliasi atau arbitrasi, 5) abstain dari ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap integritas wilayah, kesatuan nasional atau kemerdekaan politik suatu negara.

Konferensi para kepala negara/pemerintahan (Konferensi Tingkat Tinggi/ KTT) merupakan badan otoritas tertinggi dalam organisasi. Semula badan tersebut mengadakan sidangnya apabila kepentingan umat Islam memandang perlu untuk mengkaji dan mengkoordinasikan mengenai masalah-masalah yang menyangkut kepentingan dunia Islam. Tetapi pada KTT III OKI di Mekah, bulan Januari 1981, ditetapkan bahwa KTT diadakan sekali dalam tiga tahun untuk menetapkan kebijakan-kebijakan yang akan diambil OKI.

Sedangkan untuk Konferensi Para Menteri Luar Negeri (KTM), sesuai dengan artikel V Piagam OKI diadakan sekali dalam setahun bertempat di salah satu negara anggota. Pertemuan yang dihadiri oleh para menteri luar negeri tersebut akan memeriksa dan menguji “progress report” dari implementasi atas keputusan-keputusan dari kebijakan yang diambil pada pertemuan KTT.

Sesuai artikel VIII Piagam OKI yang menyangkut keanggotaan dijelaskan bahwa organisasi terdiri atas negara-negara Islam yang turut serta dalam KTT yang diadakan di Rabat dan KTM-KTM (Konferensi Para Menteri Luar Negeri) yang diselenggarakan di Jedah (Maret 1970), Karachi (Desember 1971) serta yang menandatangani piagam. Kriteria yang dirancang oleh Pantia Persiapan KTT I adalah “Negara Islam” adalah negara yang konstitusional Islam atau mayoritas penduduknya Islam. Semua negara muslim dapat bergabung dalam OKI.

Pada tahun-tahun pertama kedudukan Indonesia dalam OKI menjadi sorotan baik di kalangan OKI sendiri maupun di dalam negeri. Indonesia menjelaskan kepada OKI bahwa Indonesia bukanlah negara Islam secara konstitusional atau tidak turut sebagai penandatangan Piagam. Tetapi Indonesia telah turut serta sejak awal (Indonesia hadir pada KTT I OKI di Rabat Maroko) dan juga salah satu negara pertama yang turut berkecimpung dalam kegiatan OKI, kedudukan Indonesia disebut sebagai “Partisipan aktif”. Status, hak dan kewajiban Indonesia sama seperti negara-negara anggota lainnya.

Pada awalnya, partisipasi Indonesia dalam OKI sangat terbatas, bahkan keanggotaan Indonesia dalam OKI sempat menjadi perdebatan, baik di dalam OKI maupun oleh kalangan dalam negeri. Ketika Piagam OKI dihasilkan pada tahun 1972, Indonesia tidak ikut menandatanganinya sehingga tidak dikategorikan sebagai sebagai anggota resmi. Pertimbangannya adalah bahwa berdasarkan UUD 1945, Indonesia bukanlah negara Islam. Namun karena adanya tuntutan dan desakan-desakan dari dalam negeri, dimana mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim, Indonesia tidak bisa meninggalkan OKI bahkan kemudian mulai memberikan kontribusi secara aktif dalam OKI di masa–masa berikutnya.

Pada dekade 1990-an, partisipasi aktif Indonesia di OKI mulai terlihat, yaitu ditandai dengan kehadiran Presiden Soeharto pada KTT OKI ke-6 di Senegal pada Desember 1991. Hal ini dapat dilihat sebagai titik awal perubahan kebijakan luar negeri Indonesia untuk berpartisipasi lebih aktif di OKI.

Pada dekade 1990-an, partisipasi aktif Indonesia di OKI mulai terlihat, yaitu ditandai dengan kehadiran Presiden Soeharto pada KTT OKI ke-6 di Senegal pada Desember 1991. Hal ini dapat dilihat sebagai titik awal perubahan kebijakan luar negeri Indonesia untuk berpartisipasi lebih aktif di OKI.

Kontribusi nyata Indonesia sebagai anggota OKI yang paling memiliki peran strategis di antaranya adalah pada tahun 1993, Indonesia menerima mandat sebagai ketua committee of six yang bertugas memfasilitasi perundingan damai antara Moro National Liberation Front (MNLF) dengan pemerintah Filipina. Kemudian pada tahun 1996, Indonesia menjadi tuan rumah bagi terselenggaranya Konferensi Tingkat Menteri OKI (KTM-OKI) ke-24 di Jakarta. Selain itu, Indonesia juga memberikan kontribusi untuk mereformasi OKI sebagai wadah untuk menjawab tantangan untuk umat Islam memasuki abad ke-21. Pada penyelenggaraan KTT OKI ke-14 di Dakar, Senegal, Indonesia mendukung pelaksanaan OIC’s Ten Year Plan of Action. Dengan diadopsinya piagam ini, Indonesia memiliki ruang untuk lebih berperan dalam memastikan implementasi reformasi OKI tersebut. Indonesia berkomitmen dalam menjamin kebebasan, toleransi dan harmonisasi serta memberikan bukti nyata akan keselarasan Islam, demokrasi, dan modernitas.

Dari peran-peran Indonesia dalam OKI tersebut nampak dengan nyata usaha diplomasi Indonesia dalam dunia Islam yang tetap bebas dan aktif, bebas karena tidak terikat dalam suatu blok tertentu, dan aktif dalam mengusahakan segala kestabilan dan keharmonisan serta perdamaian dunia, baik dunia Islam maupun Barat.

Sumber Buku Sejarah Indonesia SMA/MA XII Halaman 241